Jalan-Jalan Piknik Semalam Ke Baduy Dalam

Oleh: Sally Anom Sari


Saya yaitu salah satu orang yang tidak tahu bagaimana caranya hidup tanpa uang. Sehari-hari saya bekerja mencari uang, kemudian menghabiskannya untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup saya. Di luar kebutuhan pokok, saya juga perlu uang untuk aneka macam hiburan yang sanggup menciptakan saya bahagia, ibarat makan di luar, belanja, jalan-jalan, dan banyak lagi. Semakin banyak hiburan yang saya perlukan, tentu semakin banyak uang yang perlu saya cari. Untuk mendapat uang itu, tentu saya harus bekerja lebih keras lagi. Masalahnya, bekerja lebih keras ternyata menciptakan saya kurang senang dan perlu mencari hiburan lebih banyak lagi. Artinya saya perlu uang lebih banyak lagi. Begitu terus berputar-putar.

Beberapa tahun yang kemudian sehabis suntuk bekerja demi uang, saya merasa perlu hiburan dan memutuskan untuk jalan-jalan. Kali ini saya menentukan jalan-jalan ke desa Kanekes yang lebih saya kenal dengan nama Baduy. Kenapa Baduy? Ya sesungguhnya sebab kebetulan di internet saya menemukan ada open trip[1] ke Baduy Dalam. Maka pergilah saya jalan-jalan ke Baduy Dalam.
Setelah melalui perjalanan dengan kereta dan kendaraan beroda empat elf, rombongan wisata hingga di desa Ciboleger, salah satu pintu masuk menuju desa Baduy. Dari sana kami akan berjalan menuju desa Cibeo, desa terluar Baduy Dalam, melewati beberapa desa Baduy Luar. Di Cibeo kami rencananya akan menginap semalam, sebelum pulang lagi keesokan harinya.

Begitu kendaraan beroda empat elf hingga di depan gerbang, beberapa warga Baduy Dalam pribadi menyambut kami. Merekalah yang akan menemani perjalanan kami kali itu. Sekilas saya pribadi melihat penampilan orang Baduy Dalam yang berbeda dengan orang Baduy Luar dan warga desa lain. Selain warna pakaian dan ikat kepala mereka yang hitam-putih, mereka juga tidak mengenakan ganjal kaki dan hanya membawa tas berupa gembolan kain. Sederhana sekali.

Perjalanan menuju desa Baduy Luar dan Baduy Dalam. Foto oleh: Bimasakti Aryo Bandung


Setelah tanya sana-sini saya mengetahui bahwa orang Baduy Dalam sangat patuh pada hukum watak yang mengutamakan kesederhanaan. Mereka tidak menggunakan ganjal kaki, tidak menggunakan alat elektronik, tidak boleh menaiki kendaraan bermotor, tidak sanggup menggunakan sabun, pasta gigi atau detergen apapun, dan hanya menggunakan pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri dengan warna hitam dan putih. Sementara orang Baduy Luar punya hukum yang lebih longgar: mereka sanggup menggunakan pakaian warna lain, sanggup menggunakan ganjal kaki, alat elektronik, dan sanggup menaiki kendaraan bermotor. Meskipun begitu, cara hidup orang Baduy Luar pun masih tetap sederhana.

Setelah berjalan cukup jauh barulah saya melewati beberapa desa Baduy Luar. Rumah di sana berbahan secara umum dikuasai kayu dan bambu. Pondasinya batu, atapnya daun. Di dalam rumah pun tidak banyak diisi perabotan dan mebel, semua orang duduk dan tidur beralaskan tikar. Sederhana sekali.  

Beristirahat sejenak sehabis perjalanan yang melelahkan. Foto oleh: Bimasakti Aryo Bandung.


Melewati salah satu desa di Baduy Luar. Foto oleh: Bimasakti Aryo Bandung.


Pemandangan salah satu desa di Baduy Luar. Foto oleh: Bimasakti Aryo Bandung

Meskipun hidup sederhana, orang Baduy ternyata tidak merasa kekurangan. Sebagian besar kebutuhan pokok sanggup mereka dapatkan di kampung sendiri termasuk hutannya. Kalau di kota, untuk makan saja saya perlu uang, namun orang Baduy tinggal mengolah simpanan hasil ladang atau mencari di hutan. Saya gres tahu bila hutan dan hasil ladang pun ternyata sanggup menjadi harta yang sangat berharga.

Karena dianggap sebagai harta berharga, tentu saja orang Baduy memperlakukan hutan dan ladang dengan sangat baik. Mereka mempunyai banyak upacara dan tata hukum yang berkaitan dengan kelestarian alam dan pengelolaan lahan. Mereka mengambil dari alam, namun tetap berusaha selaras dengannya. Hal ini salah satunya sanggup dilihat dari bagaimana cara orang Baduy berladang untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.

Sebagian besar kebutuhan pangan Orang Baduy termasuk beras didapatkan dari ladang yang dalam bahasa setempat biasa disebut huma. Seluruh huma dijaga kesuburannya sesuai dengan ketentuan adat. Kemiringan humadibiarkan apa adanya sesuai bentuk tanah aslinya, tidak dipapas menjadi rata. Waktu tanam dan panen dilakukan secara bersamaan untuk mencegah hama tanaman. Pestisida dan pupuk kimia dihentikan untuk digunakan. Selain itu binatang berkaki empat selain anjing tidak boleh masuk ke area Kanekes sebab dikhawatirkan sanggup merusak lahan. Orang Baduy Dalam dan Baduy Luar mempunyai cara berladang yang mirip, meskipun Baduy Dalam mempunyai hukum yang sedikit lebih ketat, ibarat tidak boleh memperjualbelikan lahan dan tidak sanggup menanam tumbuhan tertentu ibarat singkong, kelapa, kopi dan cengkeh sebab dipercaya sanggup mengurangi kualitas tanah. Cara berladang yang sudah dilakukan selama puluhan tahun ini terbukti sanggup menghasilkan materi pangan yang berlimpah, dengan tetap menjaga kualitas tanah.

Seluruh hasil panen dari huma nantinya disimpan di dalam lumbung yang biasa disebut leuit. Bentuknya dibentuk panggung untuk menghindari hama tikus dan serangga. Tiangnya menggunakan kayu keras yang sebelumnya sudah direndam dalam air dan lumpur untuk mencegah rayap. Dindingnya terbuat dari bilik bambu yang rapat. Atapnya menggunakan ijuk dan beberapa jenis daun ibarat daun Patat, Nipah dan Teureup. Pencahayaan dan sirkulasi udara di dalam leuit cukup stabil dalam animo apapun sebab leuitdibuat dengan teknik khusus yang ilmunya diajarkan secara turun temurun. Untuk menjaga leuit, orang Baduy menyiramkan ramuan tradisional dan aben daun tertentu yang sanggup mengusir hama. Hal itulah yang menciptakan materi pangan tetap kekal meskipun disimpan selama bertahun-tahun.
Salah satu leuit daerah menyimpan hasil pangan dari huma. Sumber foto: https://su.wikipedia.org/wiki/Huma#/media/File:Leuit_080814_2162_srna.JPG

Sepanjang perjalanan naik turun bukit saya sesekali melihat humadan hutan yang berisi tumbuhan yang sangat beragam. Saya berpikir apakah hutan bagi masyarakat Baduy tidak beda dengan toko atau supermarket bagi saya? Bukan hanya materi pangan, namun banyak materi lain ibarat obat-obatan, kayu bakar, hingga materi pembuat rumah pun sanggup didapatkan di hutan. Tidak perlu membeli. Kalau ada materi yang tidak ada di hutan, barulah orang Baduy mencari alternatif lain ibarat melaksanakan barter. Kalau tidak sanggup barter, gres mereka membeli. Transaksi dengan uang memang masih ada, namun tidak banyak. Tidak perlu pusing mencari banyak uang. Mungkin sebab itulah orang Baduy tidak terlihat hidup susah. Andaikan saya sanggup ibarat itu.

Setelah melalui perjalanan melelahkan selama 5 jam, risikonya rombongan hingga di desa Cibeo, Baduy Dalam. Rumah di desa Cibeo bentuknya lebih sederhana daripada rumah di Baduy Luar sebab orang Baduy Dalam dihentikan menggunakan alat bantu gergaji, palu dan paku dalam membangun rumah mereka. Suasana desanya terlihat lebih kuno. Ketika malam datang suasana begitu sunyi dan gelap tanpa penerangan, tidak ada kemewahan, namun rasanya cukup.

Keesokan harinya saya dan beberapa sahabat menyempatkan berkeliling desa, kemudian menjelang siang seluruh rombongan bersiap untuk kembali. Kami berjalan pulang menyusuri jalur yang berbeda, namun sama-sama melelahkan bagi saya yang jarang olah raga. Sambil berjalan ngos-ngosan saya berpikir bila hidup saya ternyata hanya berputar-putar antara mencari uang dan buang-buang uang. Niatnya ingin bahagia, tapi sejujurnya saya malah merasa kurang bahagia. Selama ini fokus saya yaitu terus bekerja supaya sanggup banyak uang, namun kenyataannya saya malah banyak buang uang sebab perlu hiburan untuk mengimbangi stress pekerjaan. Saya harus berguru mengurangi ketergantungan saya terhadap uang. Mungkin saya sanggup mengurangi membeli barang yang tidak benar-benar saya perlukan; menanam sendiri beberapa tumbuhan yang saya perlukan di pot; tukar barang barang dengan teman; atau mungkin mengatakan keahlian saya dikala ada hal yang saya perlukan, ibarat menulis rubrik di majalah untuk mendapat buku yang saya idamkan. Mungkin.

Beberapa jam kemudian rombongan hingga di lokasi penjemputan. Saya telah hingga di simpulan perjalanan ini. Pada perjalanan pulang saya berpikir bila hidup orang Baduy yang sederhana meninggalkan kesan mendalam di diri saya. Saya sadar bila hidup tidak melulu soal uang, apalagi kebahagiaan. Tiba-tiba saya merasa pilihan hidup saya semakin luas.

Rujukan:
Informasi mengenai leuit didapatkan dari Jurnal Biodjati Vol 2, no. 1 (2017) http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/biodjati/issue/view/188 dengan judul Kearifan Ekologi Orang Baduy dalam Konservasi Padi dengan “Sistem Leuit" oleh Johan Iskandar dan Budiawati Supangkat Iskandar.


[1] Open trip yaitu adalah wisata campuran yang diikuti oleh beberapa orang yang sanggup jadi tidak saling kenal. Penyelenggara open trip akan menentukan waktu dan lokasi wisata yang akan dikunjungi, kemudian siapapun sanggup mengikutinya secara individu maupun kelompok.
Sumber http://proaktif-online.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Belum ada Komentar untuk "Jalan-Jalan Piknik Semalam Ke Baduy Dalam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel